Jumat, 31 Oktober 2014

Menyesali Penyesalan

Tak terasa, sudah lebih dari tiga bulan aku tinggal di rumah baruku di Bogor. Al-Iffah. Dan Al-Iffahers adalah sebutan bagi kami, para santri Al-Iffah. Begitulah kami dikenal. Sebutan itu terlontar baik antar sesama penghuni ataupun selain penghuni untuk sekadar menyapa.

Sejak awal aku ingin menuliskan ceritaku. Tentang kesan pertama dan perasaanku tinggal di rumah baruku ini. Tapi aku merasa sangat enggan. Aku sangat tidak tertarik untuk menuliskannya. Karena cerita yang tertulis hanya akan penuh dengan keluh kesah yang membuat diriku lelah.

Satu bulan pertama. Aku sangat tidak suka berada di tempat ini. Aku merasakan keegoisan, ketidakramahan, peraturan yang membuatku tidak nyaman seperti tidak boleh begini tidak boleh begitu. Keharusan melakukan piket mingguan, jam malam jam 9, kewajiban mengikuti taklim setiap malam minggu dari jam 9-12 malam dan bla bla bla lainnya. Aku merasa jenuh. Aku pun merasa sungkan untu “pulang”. Hal itu membuatku sering menginap di tempat temanku. Bahkan beberapa anak Al-Iffah tidak sadar bahwa aku salah satu bagian dari mereka.

Semester baru ini aku berusaha menyibukkan diri dengan mengikuti acara magang BEM-G, BEM mahasiswa FMIPA. Karena acara magang hanya 1 bulan, kami para newbies (sebutan bagi anak magang) sering mengadakan gathering untuk menyelesaikan tugas dan projek kami sebagai anak magang BEM dengan waktu yang sangat singkat. Dengan jadwal kuliah yang berbeda dari tiap Departemen, secara otomatis gathering diadakan mulai ba’da magrib. Jika sesuai rencana, jam 9 kami selesai. Namun, kebiasaan ngaret warga Indonesia rasanya sudah terlalu melekat. 

Akhirnya setiap ada perkumpulan, aku pulang ke tempat temanku yang ikut magang juga. Karena Al-Iffah tidak akan mengizinkan santrinya masuk jika melewati batas jam malam dengan alasan selain akademik dan sakit. Hal itu membuatku semakin kesal dan tidak betah. Aku merasa dibatasi dalam kegiatanku. Di sisi lain aku senang karena aku bisa menjadikan ini sebagai alasan untuk tak pulang. Keinginanku untuk pindah tempat pun semakin tinggi.

Selama satu bulan lebih merasakan kegelisahan dan ketidaknyamanan yang sangat mengganggu ketenangan batinku, aku mencoba menceritakan apa yang aku rasakan kepada beberapa sahabatku yang kurasa tepat. Aku menceritakan kepada mereka yang senantiasa Istiqomah dalam mendekatkan diri pada Sang Rabb, aku ingin mengetahui pendapat mereka. Yang aku dapatkan, jawaban mereka hampir sama. Mereka memintaku kembali memutar memori tentang niatku memilih Al-Iffah sebagai “rumah baru”. Aku suka dengan semangat Al-Iffahers dalam beribadah, tapi tidak dengan peraturan-peraturan dan kesan pertama itu. Mereka juga mengatakan bahwa untuk mendapat dan memperjuangkan yang seharusnya kita perjuangkan memang tidaklah mudah. Kita harus mencoba keluar dari zona nyaman. Bisa jadi aku merasa tidak nyaman karena aku masih dalam tahap “untuk mengerti lebih jauh” dan adaptasi. Kemudian mereka menganalogikan setiap peraturan yang membuatku kesal itu, memberitahukan kaidahnya dalam Islam beserta tujuan dan manfaatnya.

Aku belum bisa menerima dan merasa belum tenang. Aku mengeluarkan banyak kata “tapi” dalam ceritaku. Tapi, jawaban mereka selalu membuat amarahku kalah :”).

Satu bulan berikutnya aku mencoba kembali menata hati, meredamkan amarah yang aku sadari menguasaiku dan harus segera aku bersihkan. Aku tak henti meminta untuk diberikan petunjuk dalam setiap shalatku. Aku mencoba mengikuti perarturan-peraturan yang sebelumnya selalu aku langgar dan tak aku pedulikan.

Aku senang. Aku merasakan kasih sayang Allah memang begitu dalam. Aku senang dalam usahaku mencoba untuk memahami lingkungan Al-Iffah membuahkan hasil. Aku merasakan manfaat itu. Aku merasakan kebenaran itu. Aku mendapatkan kedamaian hati dan ketenangan diri di rumah yang kini aku cintai. Selama satu bulan lebih itu aku mencoba membandingkan keadaan baik hati maupun kejiwaanku saat aku berada di Al-Iffah dan di luar. Sangat jauh berbeda. Kefuturan saat berada di luar begitu terasa. Membuatku resah, tapi aku kalah dengan lingkungan yang ada. Kini, saat aku merasa tidak tenang dan resah dengan keadaan dunia ini, aku pulang ke Al-Iffah. Dan aku mendapatkan ketenangan di sini. Dalam lingkungan dan lingkaran di antara orang-orang yang senantiasa selalu berusaha mendekatkan diri dan menyerahkan hidupnya pada Allah. Bahkan dalam canda gurau kami ada batasan yang membuat diri kami jauh lebih terjaga dan merasa lebih tenang :’).



Kini aku sadar betapa beruntungnya aku dapat berada di rumah seteduh ini. Dikelilingi orang-orang yang akan saling mengingatkan. Dan aku menyesal telah menyesali keputusan yang aku ambil. Aku menyesal bahwa aku pernah menyesal untuk memilih tempat ini sebagai rumahku.  


"Sesuatu yang baik bagimu, belum tentu baik di mata Allah. Begitu pun sebaliknya."


Jumat, 24 Oktober 2014

Knowing Our Lord

Seringkali hati ini bergejolak. Merasa tidak nyaman. Bahkan memiliki kekhawatiran yang begitu besar akan kehidupan. What’s the matter?


Sebenarnya ketidaknyamanan itu berasal dari diri sendiri yang tersugesti akan hal-hal negatif. Selain itu, kurang teguhnya diri dalam menjaga iman menyebabkan hati merasa was-was. Seakan hidup tanpa pegangan, bingung akan arah untuk setiap langkah yang kita buat sendiri.

“Semakin banyak usia, semakin banyak seseorang merasakan asam garam kehidupan”. Kalimat itu tidak lagi menjadi kalimat asing. Yaa, semakin bertambah usia, tentu saja pengalaman dan pelajaran tentang kehidupan pun akan semakin bertambah. Dan merugilah mereka yang tidak dapat mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang Allah berikan (semoga kita tidak termasuk dalam golongan yang merugi itu).

Kembali pada diri sendiri. Intinya adalah muhasabah diri. Tanyakan kembali apa tujuan hidup manusia sesungguhnya. Ibadah. Mendapatkan Ridho sang Khalik, Sang maha Pencipta dan penguasa seisi dunia. Tapi, bagaimana bisa kita beribadah sedangkan kita tidak tahu tentang Pencipta kita sendiri?

Ma’rifatullah (Mengenal Allah). Yaa, itulah yang kita butuhkan. Bahkan itu adalah hal yang diwajibkan bagi seorang muslim. Mengenal Allah dan mengharapkan keridhoan-Nya dalam setiap langkah yang kita buat. Mengingat bahwa bukan amal yang membuat kita masuk ke dalam surga-Nya. Yah, amalan hanyalah bekal menuju surga. Namun, yang membuat kita masuk surga adalah ridho, berkah, dan rahmat Allah. Karena kita tak pernah tau amalan mana yang diterima disisi-Nya. Bukan tentang kuantitas, tapi kualitas.




Dengan Ma’rifatullah, kita akan mendapatkan manfaat besar yang insyaa Allah akan membawa kita menuju kehidupan yang lebih baik, mendapatkan ketentraman jiwa, memaksimalkan diri mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal kelak. Karena kita tahu bahwa batas kita untuk beramal adalah usia dan kita tak pernah tahu kapan usia kita berhenti.

Hasil Ma’rifatullah:

1.      Al-Hurriyah (kebebasan)
Dengan mengenal Allah, kita akan tahu apa yang harusnya kita lakukan di dunia ini. Menggantungkan diri pada Allah dan membebaskan diri dari belenggu duniawi. Itulah kebebasan hakiki.  
2.      Tuma’ninah (ketenangan)
Bebas dari belenggu duniawi akan membuat kita mengkhususkan hati untuk Allah. Di suatu waktu pasti kita pernah merasakan ketenangan yang sangat dalam ketika kita benar-benar menyerahkan hidup kita pada sang Rabbi. Menyadarinya adalah sebuah pilihan karena seringkali rasa itu hilang ketika Allah menguji kita dengan kesenangan.
3.      Berkah
Menjadikan kita selalu mengingat Allah. Mengerjakan segala hal karena dan untuk-Nya. Insyaa Allah keberkahan akan mengelilingi kita. Karena bahkan kerja keras tanpa didasarkan pada Allah pun akan menjadi hal yang sia-sia.
4.      Kehidupan yang baik
Hanya dengan mendekatkan diri kepada Allah maka Allah akan memberi kehidupan yang baik bagi hamba-Nya.
5.      Surga
Bahkan Allah sudah menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang beriman, dan janji Allah itu adalah hal yang pasti.
6.      Keridhaan Allah
Untuk mendapatkan ridho-Nya, kita harus senantiasa selalu menyertakan ikhlas dalam setiap langkah kita. Percaya bahwa Allah Maha Adil. Memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan. Dan percaya bahwa setiap takdirnya adalah baik untuk kita.

Jika kita mampu mengenal baik saudara-saudara kita, mengapa tidak untuk mengenal Allah lebih jauh untuk kehidupan kita yang lebih baik. :)

Selasa, 21 Oktober 2014

Kerinduan Sahabat


Ekspresi wajah itu kembali hadir dalam pikiranku. Rasanya sudah cukup lama kami tidak berkomunikasi. Waktu dan jarak memang mudah memisahkan. Ditambah kesibukan yang tak pernah berhenti menghampiri pemuda berlabel mahasiswa.

Mungkin keakraban itu tak begitu nyata, tapi kehangatan yang kurasa membuat hatiku kuat untuk mengingatnya. Bukan mengingat atupun mengenang. Tak menyimpan, tapi secara otomatis tersimpan. Tangis itu, dekapan erat itu, takkan pernah hilang rasanya. Bisa jadi itu kali pertama aku merasakan ketulusan, kerinduan seorang sahabat. Yah, seseorang yang merindukan sahabatnya.

Kini aku pun merindukannya. Namun sayang, waktu dan jarak terlalu kejam, membiarkan kami terlarut dalam dunia masing-masing. Melupakan kasih sayang yang dulu begitu tajam, perlahan menghilangkan kerinduan tanpa jejak.

Jika aku diizinkan untuk berharap, aku ingin kembali ke masa itu. Menggenggamnya erat, lebih erat dari sebelumnya. Jika saat itu aku melepas dekapannya dan bertanya ‘kenapa’, kini aku tidak akan bertanya dan melepasnya, aku akan kembali mendekapnya. Melepas setiap tetes kerinduan yang terpendam atas ketulusan, membebaskan kasih sayang yang tak tersampaikan. Menghilangkan keraguan untuk ‘persahabatan’ yang dulu sempat ku pertanyakan. Hanya karena tangis dan dekapan itu, aku menyayanginya lebih.


Kini aku pun merindukannya. Aku merindukan ketulusan persahabatan yang tak terlihat nyata.