Tak terasa, sudah lebih dari tiga bulan aku tinggal di rumah
baruku di Bogor. Al-Iffah. Dan Al-Iffahers adalah sebutan bagi kami, para
santri Al-Iffah. Begitulah kami dikenal. Sebutan itu terlontar baik antar
sesama penghuni ataupun selain penghuni untuk sekadar menyapa.
Sejak awal aku ingin menuliskan ceritaku. Tentang kesan
pertama dan perasaanku tinggal di rumah baruku ini. Tapi aku merasa sangat
enggan. Aku sangat tidak tertarik untuk menuliskannya. Karena cerita yang
tertulis hanya akan penuh dengan keluh kesah yang membuat diriku lelah.
Satu bulan pertama. Aku sangat tidak suka berada di tempat
ini. Aku merasakan keegoisan, ketidakramahan, peraturan yang membuatku tidak
nyaman seperti tidak boleh begini tidak boleh begitu. Keharusan melakukan piket
mingguan, jam malam jam 9, kewajiban mengikuti taklim setiap malam minggu dari
jam 9-12 malam dan bla bla bla lainnya. Aku merasa jenuh. Aku pun merasa
sungkan untu “pulang”. Hal itu membuatku sering menginap di tempat temanku. Bahkan
beberapa anak Al-Iffah tidak sadar bahwa aku salah satu bagian dari mereka.
Semester baru ini aku berusaha menyibukkan diri dengan
mengikuti acara magang BEM-G, BEM mahasiswa FMIPA. Karena acara magang hanya 1
bulan, kami para newbies (sebutan
bagi anak magang) sering mengadakan gathering
untuk menyelesaikan tugas dan projek kami sebagai anak magang BEM dengan waktu
yang sangat singkat. Dengan jadwal kuliah yang berbeda dari tiap Departemen,
secara otomatis gathering diadakan
mulai ba’da magrib. Jika sesuai rencana, jam 9 kami selesai. Namun, kebiasaan
ngaret warga Indonesia rasanya sudah terlalu melekat.
Akhirnya setiap ada perkumpulan, aku pulang ke tempat temanku
yang ikut magang juga. Karena Al-Iffah tidak akan mengizinkan santrinya masuk
jika melewati batas jam malam dengan alasan selain akademik dan sakit. Hal itu
membuatku semakin kesal dan tidak betah. Aku merasa dibatasi dalam kegiatanku. Di
sisi lain aku senang karena aku bisa menjadikan ini sebagai alasan untuk tak
pulang. Keinginanku untuk pindah tempat pun semakin tinggi.
Selama satu bulan lebih merasakan kegelisahan dan
ketidaknyamanan yang sangat mengganggu ketenangan batinku, aku mencoba
menceritakan apa yang aku rasakan kepada beberapa sahabatku yang kurasa tepat.
Aku menceritakan kepada mereka yang senantiasa Istiqomah dalam mendekatkan diri
pada Sang Rabb, aku ingin mengetahui pendapat mereka. Yang aku dapatkan, jawaban
mereka hampir sama. Mereka memintaku kembali memutar memori tentang niatku
memilih Al-Iffah sebagai “rumah baru”. Aku suka dengan semangat Al-Iffahers
dalam beribadah, tapi tidak dengan peraturan-peraturan dan kesan pertama itu. Mereka
juga mengatakan bahwa untuk mendapat dan memperjuangkan yang seharusnya kita
perjuangkan memang tidaklah mudah. Kita harus mencoba keluar dari zona nyaman.
Bisa jadi aku merasa tidak nyaman karena aku masih dalam tahap “untuk mengerti
lebih jauh” dan adaptasi. Kemudian mereka menganalogikan setiap peraturan yang
membuatku kesal itu, memberitahukan kaidahnya dalam Islam beserta tujuan dan
manfaatnya.
Aku belum bisa menerima dan merasa belum tenang. Aku
mengeluarkan banyak kata “tapi” dalam ceritaku. Tapi, jawaban mereka selalu
membuat amarahku kalah :”).
Satu bulan berikutnya aku mencoba kembali menata hati,
meredamkan amarah yang aku sadari menguasaiku dan harus segera aku bersihkan. Aku
tak henti meminta untuk diberikan petunjuk dalam setiap shalatku. Aku mencoba
mengikuti perarturan-peraturan yang sebelumnya selalu aku langgar dan tak aku
pedulikan.
Aku senang. Aku merasakan kasih sayang Allah memang begitu
dalam. Aku senang dalam usahaku mencoba untuk memahami lingkungan Al-Iffah membuahkan
hasil. Aku merasakan manfaat itu. Aku merasakan kebenaran itu. Aku mendapatkan
kedamaian hati dan ketenangan diri di rumah yang kini aku cintai. Selama satu
bulan lebih itu aku mencoba membandingkan keadaan baik hati maupun kejiwaanku
saat aku berada di Al-Iffah dan di luar. Sangat jauh berbeda. Kefuturan saat
berada di luar begitu terasa. Membuatku resah, tapi aku kalah dengan lingkungan
yang ada. Kini, saat aku merasa tidak tenang dan resah dengan keadaan dunia
ini, aku pulang ke Al-Iffah. Dan aku mendapatkan ketenangan di sini. Dalam
lingkungan dan lingkaran di antara orang-orang yang senantiasa selalu berusaha
mendekatkan diri dan menyerahkan hidupnya pada Allah. Bahkan dalam canda gurau
kami ada batasan yang membuat diri kami jauh lebih terjaga dan merasa lebih
tenang :’).
Kini aku sadar betapa beruntungnya aku dapat berada di rumah
seteduh ini. Dikelilingi orang-orang yang akan saling mengingatkan. Dan aku menyesal
telah menyesali keputusan yang aku ambil. Aku menyesal bahwa aku pernah
menyesal untuk memilih tempat ini sebagai rumahku.
"Sesuatu yang baik bagimu, belum tentu baik di mata Allah. Begitu pun sebaliknya."
0 komentar:
Posting Komentar